Kisah Dari Garis Depan




Waktu itu pukul 00.07 pagi, tanggal 5 November 2010. Aku terbangun oleh suara sms masuk di blackberryku. Ternyata Ari Retnowati, teman kuliahku di IPB dulu yang sekarang tinggal di Klaten. “To, merapi kenapa lagi? Suara gemuruh gludag gludug-e kedengeran kuenceng buanget dari tempat gue sekarang. Kemarin-kemarin gak pernah kedengeran. Hopefully everything gonna be ok”.

Suara guruh merapi memang luar biasa malam itu. Lebih keras dari hari-hari sebelumnya. Bayangkan kita sedang berdiri di pinggir jalan, lalu ada serombongan truk tronton lewat. Sekeras itulah kira-kira gemuruhnya. Padahal rumahku lumayan jauh dari puncak Merapi, sekitar 17-an kilometer.

“Mas, gimana nih? Gak papa ya?”. Ternyata suara sms itu juga membangunkan istriku. Wajahnya tampak sedikit cemas. Tak heran. Aku pun cemas. Siapa yang tidak cemas mendengar suara gemuruh seperti itu. Aku tersenyum, berusaha menampakkan ekspresi wajah setenang mungkin. “Insya Allah gak papa yang. Kan perluasan radius bahayanya hanya sampai 15 km. Lagipula pemerintah bikin tenda pengungsian di lapangan Pojok kan? Gak mungkin pemerintah bikin tempat pengungsian di daerah bahaya”. Sehari sebelumnya, Merapi memuntahkan awan panas hingga mencapai wilayah timur laut Merapi Golf. Peristiwa itu membuat radius bahaya yang sebelumnya hanya 10 km diperluas hingga 15 km. Pengungsi di Oasis Disaster yang hanya berjarak sekitar 10 km dari puncak dievakuasi ke lapangan Pojok yang berjarak sekitar 200 meter sebelah utara rumah kami.

Blacberryku berbunyi lagi, kali ini sms dari mas Wandi, kepanduan DPC Pakem yang sejak letusan pertama tanggal 26 Oktober bersiaga di pengungsian Hargobinangun. “Info: pengungsi Hargo dipindahkan malam ini ke Maguwo semua”. Jantungku berdegup kencang. Kalau pengungsian Hargobinangun dievakuasi, artinya ini benar-benar serius. Kubalas sms dari beliau. “Bagaimana dengan pengungsi di lapangan Pojok? Apa sudah ada perintah evakuasi?”. Kalau lapangan Pojok dievakuasi, berarti rumah kami pun tidak aman. Tak lama datang balasan dari beliau “sementara masih tetap di Pojok”.

Aku agak lega, tapi tetap saja kuminta istriku untuk mempersiapkan traveler bag. “Masukkan saja beberapa lembar pakaian dan semua buku rekening kita, juga kas OmahTernak yang ada di rumah. Hanya untuk jaga-jaga. Siapkan juga kandang kecil Choky”. Choky adalah kucing Himalaya jantan peliharaan kami. Tidak mungkin rasanya meninggalkan dia di rumah bila perintah evakuasi keluar.

Ketika sedang membantu istriku mempersiapkan semua, blackberryku kembali berbunyi. Kali ini telepon dari pak Indra, ketua PKS DPC Pakem. “Assalamu’alaikum” sapaku. “Wa’alaikumsalam” jawab beliau. “Akhi, bisa minta tolong jemput ane? Ane mau evakuasi istri dan anak ke rumah antum saja”. Aku langsung berganti pakaian. Rumah pak Indra berada di Kalireso, sekitar 15-16 km dari puncak Merapi, dan tepat berada di pinggir Kali Boyong. Bila Merapi meletus dan awan panas masuk ke Kali Boyong, maka bisa dipastikan rumah beliau akan terkena.

Aku mengambil kunci mobil avanza yang disediakan DPD untuk antar-jemput logistik kemudian berpamitan pada istriku. Saat keluar dari kamar, kulihat semua pengungsi yang tidur di ruang tengah rumah kami sudah terbangun semua. Ada yang sedang tilawah, ada yang sedang menenangkan anaknya, ada pula yang sedang mencoba mengontak kerabatnya yang masih tinggal di atas.

Baru saja dua langkah aku berjalan meninggalkan kamar, tiba-tiba suara gemuruh itu berhenti beberapa detik dan lalu….. DUAAAAR…. Suara letusan yang keras sekali. Kami semua terkejut. Ada yang beristighfar, ada pula yang memekikkan takbir. “Astaghfirullah mas! Apa itu??”. Istriku menarik jilbab kaos terdekat lalu berlari ke arahku. DUUAAARRR…. Suara letusan kedua terdengar. Beberapa detik kemudian….TAK…TAK…TAK…. terdengar suara keras di atap. Aku dan beberapa bapak-bapak berlari ke arah teras. “Astaghfirullah….Subhanallah…” gumamku pelan. Seumur hidupku, aku hanya pernah melihat hujan air. Lalu beberapa bulan yang lalu Allah menunjukkan kepadaku hujan es. Pada letusan tanggal 30 Oktober aku diperlihatkan hujan abu. Dan kini tubuhku gemetar, jantungku terasa jatuh ke bawah….hujan batu!

Kendaraan bermotor mulai dari mobil, truk, dan kendaraan roda dua mulai melaju kencang melewati rumah kami menuju arah selatan. “Pengungsi dari lapangan Pojok lari!” pikirku dalam hati. Di sebelah, satu-satunya tetanggaku, pak Nono—seorang TNI—yang ditugaskan di Hargobinangun berteriak kepadaku. “Mas! Di sini gak aman!”. Beliau lalu ikut lari dengan motor bersama keluarganya.

Aku segera masuk kembali ke dalam rumah, menutup pintu agar abu tidak masuk ke dalam. Kaum ibu di dalam rumah mulai ribut. “Bagaimana ini akh?” Tanya seorang bapak. Aku kemudian berdiskusi dengan akh Herwanto dan akh Efen. Kami sepakat, menyelamatkan diri sekarang justru lebih berbahaya. Di depan rumah kami truk-truk besar berjalan kencang melarikan diri. Mobil hanya ada satu, sedang menyelamatkan diri dengan motor berisiko dilindas truk atau celaka karena menghirup abu merapi.

Kami sepakat prioritas pertama adalah menjemput pak Indra dan keluarganya di Kalireso, walau itu berarti melawan arus pengungsi dan relawan yang melarikan diri. Tapi itu resiko yang harus kami ambil. No one left behind! Demikian pikirku.

Aku berpamitan kepada istriku, menenangkannya, lalu berlari ke arah mobil avanza yang diparkir di pagar masuk rumah ditemani akh Efen. “Awas! Pakai helm akh!” teriak pak Herwanto. Ups, betul. Hujan batu sebesar kelereng masih berlangsung. Safety first. Aku dan akh Efen mengambil helm pengungsi yang disimpan di teras lalu berlari sekencang mungkin ke dalam mobil. Segera kunyalakan mesin mobil, dan kusingkirkan abu vulkanik yang menempel di kaca depan dengan wiper mobil.

Di jalan, tidak ada yang bisa kulihat selain benda yang berjarak 3 meter di depanku. Hujan abu dan kerikil begitu tebalnya. Belum lagi truk-truk dari tenda pengungsian yang berjalan cepat melawan arahku. Mungkin karena panik, truk-truk diesel sebesar itu berjalan di tengah jalan yang tidak begitu lebar itu. Beberapa kali aku harus membanting stir karena tepat berpapasan dengan mereka, bahkan sampai hampir terperosok ke sawah karena berjalan terlalu di pinggir. Aku sudah tidak peduli dengan klakson dan makian dari truk-truk itu. Yang ada di otakku adalah secepatnya sampai ke Kalireso dengan selamat.

Pasti hanya karena pertolongan Allah sajalah, aku bisa sampai ke Kalireso dengan jarak pandang tidak sampai 3 meter sambil melawan arus evakuasi tanpa salah belok atau tertabrak truk. Aku yakin para supir truk yang panik itu tidak mungkin bisa melihatku, walau cuma cahaya lampu mobilku karena akupun sama sekali tidak bisa melihat truk mereka, ataupun cahaya lampu mereka.

Sesampai di Kalireso, kujalankan mobil dengan sangat perlahan. Rumah beliau berada tepat di pinggir jalan tapi, Masya Allah…bahkan aku tidak tahu apa aku masih berada di atas jalan. Hujan abu makin deras, kini aku buta total. Sekali lagi, hanya berkat pertolongan dari Allah sajalah aku bisa berhenti tepat di depan rumah beliau. Bahkan aku bisa memposisikan agar ekor mobilku tepat di samping pintu masuk. Bila sampai sekarang orang-orang bertanya kepadaku bagaimana caraku memposisikan mobil sedemikian rupa sehingga lebih memudahkan evakuasi, aku menjawab tidak tahu. Aku hanya memutar mobilku dalam kebutaan, dan memundurkannya dan entah bagaimana tepat di samping pintu. Mungkin beberapa orang menyebutnya sebagai ‘kebetulan’. Tapi aku sendiri yakin bahwa ini pertolongan dari Allah.

Saat turun dari mobil, baru kusadari warga Kalireso sudah berkumpul semua di dalam mushalla. Di pintu rumah, pak Indra sudah menunggu beserta istri dan anaknya yang baru berumur sekitar 2 minggu. Di samping mushalla, ada sebuah truk yang siap mengevakuasi warga di sana. Belakangan aku baru tahu, bahwa di dalam truk tersebut sudah terdapat 5 jenazah korban letusan Merapi.

Setelah kami semua masuk ke dalam mobil, aku kembali menyalakan mesin dan menjalankan kendaraanku perlahan-lahan. Keluar dari Kalireso, hujan abu sudah mulai mereda walau masih deras. Jalan utama yang tadi disesaki oleh mobil dan truk yang melarikan diri kini telah kosong melompong. Jalan Turi yang biasanya ramai karena merupakan jalur wisata, kini seperti kota mati.

Sesampai di rumahku, hujan abu sudah makin menipis. Kini aku bisa melihat sekitar dengan jelas walau abu masih terasa merasuk ke pernafasanku padahal aku sudah mengenakan masker. Orang-orang di dalam rumah sudah mulai tenang, walau anak-anak masih menangis ketakutan. Mbak Riza, istri pak Indra beserta anaknya masuk ke kamar bersama istriku. Aku, pak Indra, pak Efen, dan pak Herwanto berkumpul membicarakan langkah selanjutnya. Kami sepakat, bahwa pada titik tertentu kami harus keluar dari tempat ini dikarenakan abu vulkanik halus mulai masuk ke dalam rumah, dan ini tidak baik untuk kesehatan anak-anak terutama balita. Namun kami khawatir dengan kondisi jalan menuju ke selatan yang masih sesak dengan pengungsi yang melarikan diri. Di sini aku menyadari bahwa dalam kondisi darurat seperti ini diperlukan ketenangan untuk berpikir jernih. Bayangkan bila kami ikut panik berlarian ke bawah, mungkin akibatnya akan lebih fatal. Untuk saat ini, kami memutuskan untuk berjaga bergiliran, sementara sisanya istirahat. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengontak akh Wicak, temanku di Bandung untuk mencari kabar terbaru. Kami tidak bisa mengakses media karena listrik dimatikan.

Kira-kira pukul tiga pagi, rumahku diketuk. Ternyata seorang kepanduan dari DPD Sleman datang untuk memeriksa kondisi kami. Beliau menyarankan kami untuk evakuasi sekarang, sambil meyakinkan bahwa jalan Kaliurang telah lengang sehingga aman untuk evakuasi. Dua buah mobil dari DPD juga telah berangkat menuju rumah untuk membantu proses evakuasi.

Pak Indra memintaku untuk berangkat terlebih dahulu untuk mengangkut ibu-ibu yang mempunyai anak-anak balita. Tujuannya adalah Ponpes Darush Shalihat. Terus terang aku merasa agak keberatan. Aku berat meninggalkan istriku di rumah dalam kondisi seperti ini. Apalagi Merapi sudah mulai kembali bergemuruh. Tapi aku tahu aku harus menanggalkan egoku dalam kondisi seperti ini. Aku tahu, mengevakuasi anak-anak balita terlebih dahulu adalah keputusan yang tepat karena kondisi udara saat itu tidak baik untuk mereka. Dan anak balita tidak mungkin dievakuasi tanpa ibu mereka. Sehingga apa boleh buat, istriku harus menunggu untuk dievakuasi.

Perasaanku sangat berat ketika berpamitan dengan istriku. “Hati-hati ya mas” ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan. Ku tatap wajahnya seakan-akan itu terakhir kalinya aku bisa menatap wajahnya. Ketika berjalan menuju mobil, kutepuk bahu pak Indra. “Titip istri ane ya akh”. Aku berusaha tenang namun ternyata suaraku tetap bergetar. “Ya akh, Insya Allah” jawab beliau.

Aku menjalankan mobilku perlahan, berusaha tidak membuat anak-anak kecil ini makin ketakutan. Di sebelahku, seorang ummahat terisak-isak sepanjang perjalanan. Beliau istri dari pak Herwanto. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu di dalam mobil untuk menceriakan suasana atau sekedar mencairkan ketegangan. Tapi aku sendiri sedang dalam keadaan kalut. Senyum istriku terus terbayang sepanjang perjalanan. Akhirnya aku hanya diam saja. Aku hanya berusaha secepat mungkin dan seaman mungkin sampai di ponpes Darush Shalihat, lalu kembali ke Pakem untuk menjemput istriku.

Sesampai di ponpes, aku segera menghubungi pak Indra. Ternyata beliau meminta aku untuk menunggu di sana. Tentu saja aku protes. Tapi beliau segera memotong “istri antum Insya Allah aman akh, beliau naik di mobil kedua di belakang antum”. Hatiku agak tenang, walau aku belum lega sebelum melihat istriku lagi. Sehingga walau aku diminta untuk segera ke kantor PKS DPD Sleman, aku memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Baru setelah bertemu istriku aku berangkat menuju kantor DPD.

Aku tiba di DPD tepat saat adzan subuh. Di sana suasana cukup hiruk-pikuk. Barulah ketika masuk ke dalam, aku melihat betapa besar kejadian dini hari tadi di televisi. Di kabarkan 50 orang luka bakar di Kecamatan Cangkringan. Tetapi belum diketahui ada atau tidaknya korban tewas. Dari televisi juga aku mengetahui radius bahaya diperluas hingga 20 km. Fuuuhhh…… there goes my neighborhood… pikirku dalam hati. Rumahku resmi masuk wilayah bahaya II.

Di DPD aku bertemu dengan ustadz Ryo Rasyid, yang memiliki kelompok binaan Ternak Domba Master di Cangkringan. Beliau menanyakan kondisiku dan teman-teman Pakem. Belakangan baru aku mengetahui bahwa sebagian kandang kelompoknya habis disapu awan panas. Saat itu aku tidak menyadarinya, karena kondisi beliau saat itu tenang sekali.

Tak lama, aku juga mendapatkan telepon dari ustadz Nashir Harist, pimpinan ponpes Al-Hadi. Beliau menanyakan kondisiku dan kondisi kandangku. Aku menjawab: “ane Alhamdulillah baik-baik saja ustadz. Kalau kandang….ane pasrahkan saja pada Allah…ane gak tahu”. Aku benar-benar belum tahu nasib kandangku beserta karyawan yang tidur di sana. Mereka belum bisa ku hubungi.

Setelah shalat subuh, aku memilih kembali ke mobil. Aku lelah sekali. Di DPD sudah tidak ada tempat untuk sekedar duduk. Banyak sekali pengungsi di sana. Aku ingin tidur sebentar di dalam mobil. Ini pasti akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan…Sebelum tidur, kusempatkan untuk mengirimkan sms kepada istriku. “Whatever happened, I will always love you”.

Pagi jam setengah 8, aku kembali bertemu dengan pak Indra di DPD. Sebelumnya aku sempat mengantarkan istri ke rumah orang tuaku. Tapi karena ia ingin kembali lagi ke posko, akhirnya kami hanya meletakkan barang-barang yang sempat kami bawa di rumah orang tua.

Pagi itu aku, istriku dan pak Indra kembali ke rumahku untuk mengambil barang teman-teman serta logistik posko yang masih tertinggal. Tetapi sebelumnya aku sempatkan untuk mampir terlebih dahulu ke kandangku di dusun Penen. Selama di perjalanan, baru aku mendengar kisah heroik teman-teman DPC Cangkringan yang mengevakuasi warga sambil dikejar oleh lahar panas. Bahkan ada satu kelompok yang terpaksa memutar ke arah Prambanan karena jalur evakuasinya terpotong oleh lahar panas. Ternyata, ketika di rumahku hujan batu dan pasir, mereka mengalami hujan api. Dan ketika aku menembus kegelapan malam menuju Kalireso, mereka sedang berjibaku menyelamatkan warga sambil dikejar lahar serta awan panas. Beberapa hari kemudian, aku membaca status facebook ketua DPC Cangkringan kurang lebih sebagai berikut: “Awan panas sudah ada alamatnya akan ke mana. Demikian juga kematian itu pasti akan datang. Tinggal bagaimana kita mengatur seni kematian itu, mati dalam kemaksiatan atau mati dalam kemanfaatan kepada orang lain”.

Setibanya di Penen, kudapati kandangku sudah kosong melompong. Tampaknya anak kandang kami sudah mengungsi entah kemana. Aku masih tidak bisa menghubungi mereka. Seluruh rumput untuk pakan kami sudah tertutup abu. Tapi Alhamdulillah, kandang domba kami bersih. Memang jalan tempat domba masuk ke kandang putih tertutup abu semua. Tetapi bagian dalam kandang dan tempat pakan, bersih. Domba kami masih dilindungi Allah. Aku sedikit lega, walau dalam hati mengkhawatirkan stok hijauan kami yang terselimuti debu vulkanik.

Beberapa menit di kandang, kami segera meluncur ke rumahku. Kupakai kesempatan itu untuk menyelamatkan CPU, mengambil lagi beberapa helai baju, dan menyelamatkan beberapa surat penting yang tertinggal dini hari tadi. Suasana masih mencekam karena guruh merapi masih terdengar. Setelah itu kami sempatkan mampir ke Kalireso untuk mengambil beberapa keperluan pak Indra. Di sana, gemuruh jauh lebih keras lagi.

Siang hari kami gunakan untuk istirahat sekaligus shalat Jumat. Sorenya, aku diminta untuk mengevakuasi teman-teman kader yang masih tertinggal di atas. Aku berangkat bersama pak Herwanto dan pak Ahmad. Cukup sulit untuk mencapai ke atas, karena jalan-jalan utama sudah diblokir oleh polisi dan relawan. Tapi biasanya tiga kata sakti ini cukup membuat jalan terbuka untuk kami: “relawan PKS, evakuasi”. Apalagi kami bertiga memakai kaos kepanduan.

Selama berputar-putar melacak lokasi teman-teman dan keluarga kader di atas, keadaan sangat mencekam. Gemuruh merapi jauh lebih keras dari tadi siang. Kondisi sangat gelap, padahal waktu masih menunjukkan pukul 14.30. Terus terang, jadi aku teringat sehari sebelum letusan ketika aku, pak Herwanto dan pak Ahmad beserta beberapa kepanduan DPD naik ke dusun Boyong yang berjarak 8 km dari puncak untuk membongkar tenda pleton (saat itu radius bahaya sudah dinaikkan menjadi 15 km). Saat melepas tenda pleton itu, setiap ada guruh aku selalu mendongak ke arah puncak. Menebak-nebak apakah itu suara gemuruh geledek dari awan hujan, atau suara gemuruh merapi yang memuntahkan awan panas. Kini, kondisi dusun Boyong yang berjarak 8 km dari puncak itu sama dengan kondisi daerah yang sedang aku lewati, yang berjarak sekitar 15 km dari puncak.

Jalur evakuasi yang kutempuh cukup berputar-putar karena beberapa akses jalan tertutup oleh batang pohon atau bambu yang rubuh. Di sebuah dusun kudapati sebuah pohon beringin yang sangat besar tumbang karena tidak kuat menahan beban abu dan pasir di dahannya. Pikirku saat itu adalah “mudah-mudahan rumahku tidak bernasib seperti ini”, mengingat rumahku juga terkena hujan pasir dan kerikil.

Ketika memasuki pertigaan Balong dan akan menyeberangi jembatan, ada sekelompok linmas menghadang kami. Seperti biasa, kubuka jendela mobil sambil berkata “relawan PKS, mau evakuasi”. Tapi kali ini kata sakti kami tidak berhasil. “Banjir mas, gak bisa lewat!” demikian teriak salah seorang linmas. Aku memajukan mobilku sekitar 10 meter ke depan. Baru aku sadar apa maksud linmas tersebut. Jembatan yang akan aku lewati terbenam oleh aliran deras lahar dingin. Deras sekali. Masya Allah….pikirku. Sungai ini berhulu di Kali Boyong, dan berhilir di Kali Code, tempat tinggal teman-teman ‘pekanan’-ku. Aku tidak ingat apakah hari itu hujan deras, tapi aku ingat sekali aliran lahar dingin tersebut, dengan material vulkanik berupa batu besar-besar. Aku berputar sambil berdo’a dalam hati “Allah, lindungilah saudara-saudaraku di bawah sana”.

Malam itu, kami semua dari PKS DPC Pakem sepakat bahwa itulah tidur ternikmat yang pernah kami rasakan. Tanpa ada rasa takut, tanpa ada gangguan guruh dan hujan abu. Malam itu, kami beristirahat dengan tenang. Namun kami sadar, seperti pesan salah satu ustadz kami: “Bencana ini nampaknya akan panjang. Oleh karena itu kita juga harus menjaga nafas kita agar tetap panjang. Karena kita tidak hanya dibutuhkan saat tanggap bencana, melainkan juga saat post-disaster”.


Merapi pertama kali meletus pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul lima sore lewat, tepat saat kami baru saja selesai rapat koordinasi persiapan bencana. Sampai kisah ini kutulis pada tanggal 11 November 2010, masih belum ada tanda-tanda kapan bencana ini akan berakhir.

Kisah ini kutulis sebagai jawaban atas keinginan teman-teman yang memintaku untuk menceritakan pengalaman kami saat letusan besar pada tanggal 5 November 2010 itu terjadi. Kisah ini kutulis, untuk menceritakan mereka, manusia-manusia berani yang bekerja demi sesama walau tanpa kemewahan sorot kamera. Kisah ini kuberi judul “Kisah dari Garis Depan” karena menceritakan tentang pengalaman kami yang berada pada garis terdepan saat letusan terbesar gunung Merapi dalam 100 tahun terakhir ini terjadi.


Kisah ini kutulis atas rasa bernama cinta. Dalam Dekapan ukhuwah, cerita ini mengalir. Seperti buku yang kubaca saat Ramadhan yang lalu, karya Salim A. Fillah.



Muhammad Subroto,

yang masih belajar mencurahkan isi hatinya dalam bentuk tulisan



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Mutiara-Mutiara Dari Samudra

Ini.. adalah mutiara-mutiara, yang kukumpulkan dari kedalaman samudra grup kami. Masing-masing, dengan kilauannya tersendiri. Indah..

Silahkan, kalungkan di ruang benakmu. Gelangkan pada tangan kemaknaanmu. Serta sematkan sebagai cincin, pada jemari hikmahmu.

*****@*****

ketika kau datang,
cahaya bintang begitu cemerlang
kau hilang aku begitu merindukan...
segenap jiwa pun tersadar...
cinta bukan terbunuh olehku,
namun ia telah hancur olehmu...

by Dany Kindaichi Nagareboshi)

namun ia tlah hancur olehmu
membuatku menjadi pesakitan
dirudung gejokan hempaskan tawa
diamkan kebisingan dalam alunan sepi
kaupun hilang disaat batin butuh keberadaan..


(by Geny Raia)

aku hanya mampu menulis dalam hati
aku tak sanggup menorehkan penaku di atas kertas.
penaku tak sanggup berbagi
penaku adalah hatiku yg hanya mampu menoreh perasaanku yg sedih ataupun senang
oh penaku kapan kau bisa berbagi dgn yg lain???

ku tunggu nyalimu


by Budi Setya Ayu)

dalam lelapmu sayang,kutemukan kebahagiaan...
damai dalam kepolosan..
meski semua tak selalu seperti yg kau ingin.
tapi manisku,hidup memang seperti itu...
harapku hnyalah suatu saat kau akan kuat dan tegar
tapi sementara itu,tetaplah ceria sayangku
karena bahagiamulah yg terpenting bagiku

putri kecilku....


by Syahidah Nurjannah)

hmm... nulis??

nulis itu perlu ilmu...!!!
nulis itu perlu ilmu...!!!
nulis itu perlu ilmu...!!!


by Hanya Manusia Biasa)

izinkanlah aku untuk bertanya wahai penghuni bumi..
salahkah jika aku merindukan seseorang?
kutitipkan rinduku pada angin
melambai lembut dipelupuk nurani..
menyampaikan harapan.. membangun asa..
namun apa yang kudapat..?
sebuah penantian yang begitu panjang...
hingga aku terduduk lesu..
berkata bahwa 'rinduku ini sia-sia...
setelah apa yang kurasa, masihkah boleh aku merindu? wahai penghuni bumi...


by Tri Wahyuni)

Ya Rabb
Kepasrahanku hanya padaMU
Penghambaanku hanya untukMU
Dan aku berharap,rasa Cinta & Rindu ini juga ku tujukan padaMU
Jangan KAU beri Ruang terhadap Cinta yang hanya Menipu
Jangan KAU beri Kesempatan pada Rindu yang hanya akan menyiksa Qolbu karena DuniaMU
Aku menghiba Lautan KasihMU
Bentangkan Samudra CintaMU padaku
ENGKAUlah Muara Keluh-Kesah & Bahagiaku


by Tiana Umar)

Penulis Hebat, Motivator Dahsyat

“Syarat untuk bisa menulis itu cuma satu ...,”

masih menancap kuat di korteks serebral otakku ucapan Baban Sarbana

suatu sore di Sekolah Alam Bogor nan asri,

“yaitu SENANG BERBAGI!



Ucapan yang sangat membahagiakanku, menguatkan keyakinanku bahwa menulis itu mudah, menulis itu ibadah dan sudah seharusnyalah sebanyak mungkin orang di dunia digairahkan untuk senang menulis.



Pulang dari sana, langsung kujelajahi belantara internet untuk menemukan pelatihan penulisan on line dan berjumpalah aku secara virtual dengan Bang Jonru sang mentor yang semangatnya menyala-nyala, yang gairah menulisnya membias dari tiap kata yang ditulisnya.

Oya, perkenalkan. Namaku Galuh Chrysanti. Usiaku 34, ibu rumah tangga dengan dua balita. Senang menulis sejak kecil dan juga sangat menikmati memotivasi orang lain ke arah kebaikan. Ketika ternyata dua hobiku ini bisa disatukan, waah, senangnya bukan kepalang.

Betapa besar hutang budiku pada mereka yang tulisannya kubaca, yang menaikkan semangatku di kala redup, menginspirasi ketika minim ide, membuatku tertawa, terharu, membuatku belajar tentang kehidupan hanya dengan duduk membaca, dan diatas segalanya, semakin mengenal Dia yang mencipta.



Kubayangkan, betapa besar amal sholeh yang mereka terima, amal sholeh yang berumur panjang karena pahalanya insya Allah kan terus mengalir selama karya mereka dibaca dan diamalkan. Uugh, ibarat MLM, berarti yang juga berhak mendapat kebaikan dari amal para penulis itu adalah para motivator di balik para penulis itu dong, ya?



Para motivator inilah yang awalnya membuat kebaikan ini dapat terus disebarkan. Melambungkan keyakinan yang selama ini mengakar kokoh di hatiku, bahwa kebaikan itu harus selalu disebarkan, diteruskan, dibagi, dialirkan tiada henti.



Bahwa ‘kalau cuma’ bisa menulis itu mudah dan bahwa semua orang bisa menulis sama sekali bukan omong kosong, aku sendiri sudah membuktikannya. Ceritanya begini ....



Bayangkanlah sebuah sekolah taman kanak-kanak nun jauh di Kota Minyak Balikpapan. Jabalussalam namanya. Lebih tepat sebetulnya disebut ‘syurga’nya anak-anak. Karena sungguh, cita-cita sekolah itu adalah membuat anak-anak bergembira ketika belajar, berbahagia ketika mengenal Rabb mereka.



Guru-gurunya ... hmm, hatiku sungguh menghangat ketika mengingat guru-gurunya. Para guru tersebut insya Allah sangat meyakini bahwa segala aktivitas di sekolah itu adalah sajadah panjang mereka yang berujung pada perjumpaan nan indah dengan Allah swt kelak.

Suasananya sangat ceria. Anak-anak yang menangis-mungkin karena malu atau karena rindu pada orangtua mereka yang tidak boleh menunggui- akan dihadiahi belaian cinta dan pelukan hangat oleh guru-guru penyayang.



Anak-anak diajak bermain, bersenang-senang di alam terbuka, tadabur, berzikir, mengenal Allah dengan segala kebesaranNya. Oooh, alangkah sayangnya, alangkah sayangnya jika ini semua tidak terdokumentasikan. Kebahagiaan ini harus dibagikan, keindahan ini harus diceritakan pada dunia.



Aku yang waktu itu diamanahi sebagai kepala sekolah di sana pun tak tahan untuk tidak menyemangati para guru agar segera menuliskan pengalaman mereka dan kemudian mengumpulkannya menjadi sebuah buku.



Oya, latar belakang pendidikan sama sekali bukan alasan untuk merasa tidak mampu menulis. Waktu itu dari kami bertigabelas, hanya tiga yang sarjana. Kemampuan awal menulis itu seperti kata Bang Jonru, lebih merupakan “default factory setting” kita. Untuk lebih jelasnya, coba klik di http://www.penulishebat.com/ .



Aku sendiri sangat yakin pada potensi para guru, apalagi yang akan mereka tulis adalah pengalaman sendiri. Kalau saja hati mereka bisa memegang pena dan menulis sendiri, tentulah sudah berlembar-lembar tulisan yang mereka hasilkan karena melimpahnya kekayaan pengalaman batin mereka dalam mengajar.



Hasilnya, terkumpullah 43 tulisan hanya dalam waktu satu minggu. Bahkan semangat menulis ini juga berkobar dikalangan orangtua murid yang akhirnya ikut menyumbang 14 tulisan. Luar biasa sekali bukan kekuatan sebuah keyakinan? . Satu bulan kemudian, “Pelangi di Jabalussalam” pun naik cetak 400 eksemplar dengan menuai respon pembaca yang menggembirakan hati.



Kini –setahun lebih berselang—dengan haru kubaca tulisan teman-teman guru di Balikpapan lewat status maupun notes facebook mereka yang semakin lama semakin indah, semakin kaya, semakin bermakna.



Sebelum menggagas buku “Pelangi di Jabalussalam”, bersama teman-teman guru di beberapa sekolah di Balikpapan aku ikut mendirikan KPBA Cinta Pena (Kelompok Pecinta Buku dan Anak Cinta Pena). Kami mengadakan pertemuan satu bulan sekali untuk saling memotivasi menulis, membedah buku, mengadakan workshop penulisan, dan lain-lain. Sayang sekali mungkin karena kurang diprioritaskan, kegiatan positif ini sekarang mati suri. Padahal manfaatnya sangat banyak. Aah, betapa indahnya jika terbentuk pula KPBA-KPBA di daerah lain untuk memfasilitasi peningkatan kemampuan membaca dan menulis para guru di seantero penjuru nusantara.



Kalau boleh, ingin kutitip pesan untuk saudaraku para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Jika menulis adalah sebuah kewajiban dari Ilahi, maka para gurulah seharusnya yang pertama mengemban amanat ini. Para guru adalah kunci utama perubahan kebaikan di suatu negeri. Menulis akan menyebarkan kebaikan-kebaikan yang mereka miliki ke seluruh pelosok negeri.



Menulis itu mencerdaskan, menajamkan hati, meningkatkan kepercayaan diri. Dan percayalah, menulis itu mudah. Kuncinya seperti kata Kang Baban Sarbana cuma satu : senang berbagi. Dan bukankah kunci sederhana ini pastilah sudah mutlak dimiliki oleh setiap insan guru? Nah, untuk mengembangkan ketrampilan teknisnya, ikuti trik jitu Bang Jonru di “Rahasia Terbesar Penulisan” dengan membuka account di sekolah menulis online-nya di http://www.SekolahMenulisOnline.com/ . Trik yang super ampuh! Segera buktikan sendiri!



Kini, telah dua tahun aku pindah ke Bogor. Semua peristiwa di atas terjadi sebelum aku membaca tulisan Bang Jonru, sang mentor SMO (Sekolah Menulis Online) dari layar internet di kamarku. Ketika satu demi satu emailnya kubaca lewat kursus menulis gratis 9 minggu-nya, rasanya ingin ku menangis. Rinduku pada guru-guru Jabalussalam di Balikpapan menyesak di dada, membuat air mata hati tiada berhenti berderai. Rinduku pada KPBA Cinta Pena .... Aah, alangkah sayangnya jika mereka di sana tidak ikut menikmati tulisan-tulisan ini. Kuingin terbang ke Bumi Borneo, berada bersama mereka untuk membedah tulisan-tulisan Bang Jonru kemudian siap mengamalkannya, menggoreskan pena, menarikan jari di atas keyboard pc, menulis, berkarya, bergerak bersama thawafnya alam semesta dalam rangka zikirnya pada Allah.



Menulis itu mudah. Namun untuk menjadi penulis hebat adalah sebuah perjuangan. Bacalah promo buku “Cara Dashyat Menjadi Penulis Hebat” di http://www.penulishebat.com/ dan jumpai covernya yang atraktif di http://www.penulishebat.com/images/cover_penulishebat.jpg . Saya juga sangat merekomendasikan Anda untuk ikut bergabung di di fan page –nya di http://www.facebook.com/penulishebat atau http://www.twitter.com/penulishebat , Anda akan terpesona oleh pandangan baru bahwa penulis hebat bukan diukur dari banyaknya karya yang dihasilkan. Penulis hebat adalah pembuktian karakter, percaya diri, motivasi tinggi, semangat yang tak pernah padam dan pantang menyerah.



Menjadi penulis hebat seperti dijelaskan dengan jernihnya oleh Bang Jonru adalah cita-citaku, impianku, tujuan setiap gerak langkahku. Karena dengan menjadi penulis hebat, insya Allah aku dapat meniti jalan menuju motivator dashyat lewat tulisan-tulisanku, lewat buku-bukuku.



Saat ini kuhujamkan jauh ke hatiku yang terdalam, dan semoga terbangkitkan juga mereka yang membaca tulisan ini :



“Wahai diri, menulislah, karena menulis itu rahmat.

Bekerjakeraslah engkau untuk dapat menjadi penulis hebat.

Karena penulis hebat adalah jalan menjadi motivator dashyat.

Bisa menggerakkan ribuan orang untuk ikut menjadi hebat, melintasi ruang, menembus jaman.

Karena membuat orang lain menjadi hebat adalah kebahagiaan terbesar.

Dengan tulisanmu, ajaklah orang lain untuk merindukan syurga dengan berbagai cara.

Bayangkanlah wahai ruh,

Betapa indahnya jika kelak berkumpul di syurga, dengan teman-teman yang –atas ijin Allah—

ikut menjadi hebat di dunia karena membaca tulisanmu.

Allahlah pemilik segala kebesaran, jadikan dirimu jalan rahmatNya untuk semesta.

Maka, dengan ini kutantang mereka yang masih juga meragukan bahwa menulis itu mudah. Sama seperti tantangan yang kuberikan pada mereka yang masih juga mempertanyakan bahwa Allah Maha Penyayang, Maha memudahkan segala cita-cita baik kita. Dengan segenap ikhtiar, Ialah yang akan memudahkan tercapainya keinginan yang membuncah ini untuk menjadi penulis hebat, Insya Allah.

Tulislah kebaikan apa saja. Latihlah pikiran kita, hati kita, rasa kita dalam jalinan kata. Setiap hari, setiap saat, sempatkan dan jangan tunda lagi. Goreskan idemu di kertas, di keyboard hp atau komputer. Dan nantikan kejutan manis dari Allah ketika suatu hari kita dilejitkanNya dalam sebuah karya yang bermanfaat bagi orang banyak, yang meneruskan kebaikan bahkan ketika kita sudah tak lagi menghuni dunia yang fana ini.



Mari terus kepalkan tangan teman-teman, semangat dan terus beramal. Ucapkanlah : Allahu Akbar, bil JIDDI !

Sukses Kala Sendiri

Tujuh Ramadhan



Pendakian menuju kebaikan itu, bukan hanya lurus, kemudian sampai di puncak dengan sejuta rasa sukses, sangat mulus. Tentu ada kenangan paling indah selama perjalanan melalui lereng-lerengnya, mengitari sebuah bagian yang tak mungkin dilalui. Terjatuh, karena tersandung akr-akar pohon nan besar, yang ada di sepanjang setapak-setapak itu. Sesekali terjerembab, menginjak lubang yang tak terlihat. Terkilir, kram kaki atau yang lainnya. Itulah yang membuat buku ”KESUKSESAN” sangat digemari. Aroma perjuangan, selalu memacu adrenalin untuk ikut bergelora bersamanya.

Begitulah Ramadhan seharusnya bagi jiwa-jiwa kelana iman. Merasakan sulitnya menahan setiap syahwat diri, yang melingkari zona ingin. Ingin ini, ingin itu, ingin kesana, ingin kesini, ingin begitu, ingin begini, ingin lagi.. lagi dan lagi. Dan tentu tak semua ingin bisa dipenuhi kala berbuka. Bahkan berbuka pun kita masih tetap berpuasa. Berpuasa lisan kita, dari mencela atau menyebut-nyebut kurangnya nikmat. Karena kadang tanpa sengaja terucap, ”Duuh, coba ada buah ya.” atau ”Enak kayaknya, kalau ada jus.”

Puncak sukses Ramadhan yang sesungguhnya, bukanlah di ujung hari-hari itu. Namun, senja-senja ramadhan adalah rintangan-rintangan yang mesti dilalui satu demi satu, yang kemudian terakumulasi di akhirnya. Seberapa berhasilnya kita ketika menghadapi setiap rintangan. Itulah yang menjadi bahan hitungan bagi suksesnya.

Pendakian ramadhan, adalah pendakian pribadi. Sekalipun ada orang-orang tercinta, manusia-manusia tersayang di sekitar kita. Namun, Ramadhan sesungguhnya adalah proses pencapaian kesuksesan individu. Karena, kebersamaan akan selalu membawa semangat yang luar biasa tentunya. Untuk menahan setiap bujukan nafsu yang ingin dipenuhi. Kebersamaanlah yang memotivasi kita untuk kuat dan bertahan hingga selesai. Itu, sungguh mempermudah apa yang kita sebut puasa atau shaum.

Namun, bagaimanakah puasa kita kala kita sedang bersendiriian..??

Baru sepekan berjalan. Terasa mulai berat tubuh dan mata ini semakin bernafsu untuk tertutup. Lihat ke kanan, ternyata sedang sendiri. Lihat kekiri, nyatanya memang sendiri. Hingga akhirnya meredup terbawa kantuk, karena tiada sosok-sosok lain yang memberi semangat, memotivasi untuk terus istiqamah menggelar ibadah dan amal. Mencoba menemukan keteladan dalam wujud-wujud shalih di dekat kita. Toh, tak selamanya kita akan bersama mereka. Kala itulah, puasa dicoba, dengan sebenar-benarnya.

Pengawasan terhadap panca indera yang melemah. Tak terbatas lagi, apa yang mestinya tidak dipandang. Lisan yang terbebas dari kawalan, lalu berkeliaran merusak keriangan. Telinga terbuka bagi setiap suara, berita dan kabar. Tiada filter yang memfungsikan hati untuk menahan setiap gerak diri. Begitulah seringkali jika kita bersendiri.

Akankah, orang lain, yang kita sayangi, selalu ada bersama kita. Mengawasi kita, memberi kita semangat, menggandeng kita untuk terus berjalan, membantu kita dikala kesulitan, menarik kita untuk berdiri kala kita jatuh. Adakah mereka akan terus ada di sisi kita, memberi tahu akan keharusan, menginfokan kebaikan, mencoba membenarkan sesuatu yang salah pada diri kita. Akankah mereka terus ada..??

Jawabannya, TIDAK. Sekali-kali tidak. Karena, pertemuan itu, sejolinya adalah perpisahan. Persatuan itu, pasangannya adalah perpecahan. Kebersamaan itu kebalikannya adalah kesendirian. Semua akan terjadi pada kita. Saatnya, mengandalkan diri kita. Lupakan keteladanan, karena kala bersendiri keteladanan itu semu. Hanya memory yang membekas keras pada rasa. Semua bisa punya memory tentang keteladanan. Namun, yang membuatnya berbeda adalah, siapakah di antara kita yang berhasil memanfaatkan keteladanan itu, kala sepi. Siapa yang sukses membangun kebaikan bagi dirinya, kala sendiri. Karena, kebersamaan dan kesendirian itu sebenarnya adalah kawan. Layaknya, tangan kanan dan tangan kiri. Namun, ketika tangan kanan memberi, tak selayaknya tangan kiri tahu. Ketika amal dilakukan, sendiri ataupun dalam kebersamaan. Amal itu selalu menjadi rahasia kita dan Allaah.

Mari diri.. semangat lagi

Meski sepi.. yuuuk beramal lagi

Jauh dari riuh tepuk tangan dan puji

Namun.. ayolaaaaaaah jiwa

Kita sukses bila bersama

Dan kita pula berhasil, meski tiada siapapun jua

Langkah Kecil Menuju Ramadhan



Duhai dikau semua. Termasuk diriku yang telah melakukan perjalanan panjang. Di antara belukar cerita peradaban. Telah kau temui, hari-hari terang yang dirajai nafsu. Di mana setiap kesenangan, diikuti tanpa ragu. Tetap kau batasi dengan nilai-nilai yang memenuhi kemampuan diri dengan garisan pena hati. Namun, begitulah sebelas bulan perjalanan kita serasa lepas setiap benteng diri. Dilucuti satu-satu oleh semakin jauhnya kita dari yang kita sebut cahaya.

Mujahid..

Beberapa tikungan jalan lagi, ketika kita temukan kerikil-kerikil yang kan sedikit menggores telapak-telapak kaki harapan. Beberapa tanjakan lagi, kala kita mesti menggapai sukses-sukses di puncak hari. Beberapa turunan lagi, yang mesti kita lalui untuk menemukan lembah-lembah kedamaian di ujung-ujung senja yang sentuh rasa. Beberapa matahari lagi, yang akan kita nikmati untuk menemani kita memacu energi seperti cahayanya. Beberapa kelembutan bulan, yang senantiasa syahdu menghias hati yang penuh rindu. Serta beberapa taburan bintang lagi, yang perlu kita kumpulkan untuk menghias jiwa-jiwa yang mencinta. Ya.. tinggal beberapa masa lagi. Kita kan jumpa dengan malam-malam bergelimang berkah. Pula pagi, siang dan senja yang banyak rahmah.

Mujahid..

Bagi mereka yang telah dijanjikan pertemuan dengan sang Ramadhan. Sungguh, telah dihidangkan nikmat bagi kita untuk direguk sepuasnya. Sungguh, Allaah sangat inginkan kita semua bisa memasuki surga-Nya nan indah. Tak kurang Sang Maha Rahmaan menyediakan fasilitas-fasilitas bermutu, yang diberi jaminan bagi kita akan memijak surga jika menggunakan fasilitas-fasilitas itu dengan maksimal. Setiap tamu Ramadhan, adalah manusia-manusia yang diberi waktu untuk menikmati kesempatan bermegah-megah dengan pakaian-pakaian amalannya. Bersama detik-detik yang seharusnya digunakan untuk bercengkrama dengan ibadah-ibadahnya. Diiringi senandung kalam yang mengalir syahdu dari lisan-lisan yang penuh rindu. Setiap siang yang kan terasa panas dan menyengat, penguji hati dan kekuatan benteng diri. Malam-malam yang terasa sejuk, penggoda mata tuk menutup dan terseret oleh kantuk. Senja-senja yang makin teduh, penarik jiwa tuk penuhi setiap sisi puas. Shubuh-shubuh nan ramai, memancing ingin tuk isinya dengan perjalan pagi nan sia-sia. Masa-masa yang sangat berharga. Sebuah fasilitas untuk mencetak jiwa. Pembentuk taqwa.

Semakin banyak ibadah, semakin banyak kebaikan, maka Allaah berikan bermacam-macam nikmat. Nikmat yang paling besar ialah ditambahkannya keimanan.

Mujahid…

Perang terbesar itu akan digulirkan. Pertemuanmu dengan Ramadhan, kan membantumu tuk lebih kuat. Lebih mampu menguatkan kendali atas diri. Makin sigap menjaga setiap sisi syahwat, agar tak bebas berkelana pada angan yang meng-angin. Jauuuuuh, tanpa kenal tempat jelajahnya dan tiada peduli ranah pijakannya. Hanya menghayal panjang penuh harap, tanpa mujahadah. Panggullah senjatamu serentak, hingga kalut dunia karena takut melihat kau bangkit dengan perkasa. Syaithanpun terbirit melihat kau sanggup kuasa diri dalam kawalan ratusan peluru sujud. Angkatlah panji semangat tuk berlomba melumpuhkan musuh diri, satu demi satu. Hingga fajar Syawal menyambutmu dengan kemenangan yang dijanjikan. Kembali fitri, dengan selembar jiwa yang suci. Bersih dari sampah-sampah hati yang mengotori perjuangan ini. Sehingga pantaslah diri tuk menerima sebutan mujahid.. pejuang.. satria.. Dan siap, untuk pertarungan yang sebenarnya.
Wahai orang yang selalu mencari dan beramal kebaikan, bergembiralah. Wahai orang yang mencari dan berbuat amal keburukan, berhentilah. Seruan ini terus didengungkan sampai akhir bulan Ramadhan.” (HR Ahmad dan Nasa’i)

*****@*****

Memanjangkan langkah
Sambil berhitung
Semogalah kami pemilik keberuntungan
Dengan beberapa jejak dan cerita
Yang mesti kami buat

Menanti kesempatan
Menyibak fajar baru
Yang telah hadir di ruang rindu
Sekian lama

Memohon dengan sangat.
Sampaikan kami..
Pada hari-hari berkah
Pada malam-malam syahdu
Pada udara yang Engkau Rahmati padanya

Sampaikan jiwa-jiwa cinta ini
Pada detik-detik itu
Sebuah arena pertarungan dengan nafsu
Di waktu-waktu para perindu

Beberapa langkah lagi
Memohon dengan sangat..
Izinkan..
Detak jantung ini
Berdenyut nadi
Hingga sampai seiring fajarnya
Perkenankan..
Udara berkelana
Penuhi relung-relung hidup kami
Relakan..
Otak kami tetap dengan denyut pikirnya

Demi memeluk Ramadhan sepenuh hati

Memohon dengan sangat..
Sampaikan kami… Dengan kaki kecil ini… Menapakkan diri… Di Ramadhan nan Suci… Amiin yaa Rabbal’aalamiin

Catatan-Catatan Aufa *_^




*Catatan 1
Pada suatu hari, ada seorang manusia di ciptakan oleh Allah. Ia adalah manusia pertama yang diciptakan & diturunkan ke surga.. ia bernama Adam. Suatu hari, ia merasa kesepian.. Adam meminta dengan cara berdo'a kepada Allah supaya punya pendamping. Maka, Allah menciptakan Siti Hawa. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Adam merasa senang sekali, karena sudah ada teman di surga. Dia merasa begitu dekat dengan Hawa, karena Siti Hawa berasal dari tulang rusuknya.
Mungkin Papa dulu..begitu juga ya?? Berdo'a kepada Allah.. supaya bisa ketemu dgn Mama..
"Ya, Allah..'Aku sangat senang karena Papa & Mama bisa ketemu & menikah. 'Aku rasa Raadhii & Azka pasti juga senang...amiin".

*Catatan 2
Ramadhan tlah tiba. Jangan sia-siakan bulan Ramadhan ini, karena pada bulan ini Allah banyak memberikan pahalanya & ampunannya. Contohnya, kalau kita tidur di bulan Ramadhan.. itu adalah ibadah. Kalau ibadah, pastinya dapat pahala dong!! Tapi.. tetap jangan tinggalkan sholat ya.. ^_*
Di bulan Ramadhan dosa-dosa kita juga terampuni. Tapi kalo ada dosa preman & penjahat terampuni??
Itu sungguh terlaluu..!! Terlalu baik, maksudnya ya Allah... :)

*Catatan 3
Mesjid itu sakit. Mesjid itu kecil bentuknya. Dia sakit karena tidak pernah dirawat & dijenguk oleh tetangganya. Tiba-tiba..ada helikopter lewat, dan membawanya pergi jauh..tidak tau kemana.
Pada subuh tiba, jama'ah merasa kaget..karena Mesjidnya sudah tidak ada. Mereka mencari Mesjid kecilnya kemana-mana, bertanya ke teman2 lainnya, ke laut, ke bukit, ke awan, naik balon udara, naik truck, naik pesawat, manjat pohon tinggi..tapi mereka tetap tidak menemukannya. Mereka sedih sekali, mereka rindu sama Mesjid kecil mereka. Tiba-tiba, helikopter lewat..ia membawa mesjid kecil pulang dan ditaruh di tempatnya lagi. Mereka sangat senang Mesjid kecil sudah pulang kembali. Mereka cepat2 memeluknya & membersihkannya..dan sholat berjama'ah di dalamnya. Alhamdulillah...kata mereka. ^_^

teruslah.. menulis, tapi jangan lupa ganti pensilnya yaaa.. ^_^

(By Nadzifah 'Aufa Qothrunnada (9 thn)

Apa Yang Bisa kubawakan Untuk-Nya




Telah jauh ku melangkah...
Berpuluh tahun lamanya aku pergi...
Bermacam-macam yang sudah aku lakukan & kerjakan...
Beraneka ragam yang aku lihat & saksikan...
Semua begitu indah, ngeri, bahagia, sedih, terasa ringan ataupun berat.. selalu mewarnai setiap perjalananku..

Di awal kepergianku, Engkau titipkan aku pada seseorang yg Engkau sangat percaya untuk menjagaku..
Engkau tidak membiarkan aku begitu saja...
Engkau begitu sangat menyayangiku, memperhatikanku & memanjakanku dengan menyediakan bekal yang cukup.. selama aku pergi.
Engkau selalu mengamati & mengawasi setiap detik perjalananku..

Entah kapan Engkau akan memanggilku tuk pulang..
Jantungku-pun slalu berdebar-debar jika tau saatnya tlah datang..
Aku selalu bertanya-tanya, oleh2 apa yang pastas kubawakan untuk-Mu??
Seberapa banyak buah tangan yang sanggup ku jinjing, kupanggul & atau ku seret??
Atau.. Aku, sama sekali tidak sempat atau sanggup membawa ini semua?? Wallahu a'lam bishawab..

Maafkan Aku ya Rabb..
Aku kan berusaha membawanya... walaupun itu berat
Mungkin bisa sebagai bukti... bahwa selama ini aku telah berjalan...
Atau.. sebagai kenang-kenangan, bahwa aku telah mengalami & merasakan semuanya??
Atau.. sebagai bahan untuk menceritakan semua perjalananku kepada-Mu...

Tapi.. aku juga tidak tau,
Apakah oleh2 yg aku bawa.. Engkau akan menyukainya??
Aku khawatir... apa yang kubawa tidak berarti apa2 bagimu...
Atau apa yg kuceritakan... tidak dapat membahagiakan-Mu..
Sedih, jika membayangkan itu.. terjadi?? T_T

Yang aku impikan hanyalah.. apapun yang kubawa..
Dapat membuat-Mu tersenyum bangga, tertawa bahagia, atau terdiam.. krn sangat ingin mendengarkan cerita-cerita ku...
Duhh.. senangnya, jika mimpi itu memang bisa terjadi...

Ya, Allah.. teruslah bimbing aku dlm perjalanan ini..
Tegur aku, jika aku salah melangkah..
Tunjukkan aku arah yg benar..
Izinkan aku pulang, ikut bersama orang2 yg Engkau sayangi...
Dan... tolong bisikkan kepadaku, oleh2 apa yang Engkau suka??
Aku kan sangat berusaha... tuk membawanya..
Dengan tersenyum.... ^_^
Amiiin...