I'm Almost Over You



Balikpapan, September 2010
Diah, seorang gadis dengan balutan baju takwa, cerdas, enerjik, punya jaringan dakwah yang sangat luas, cinta anak-anak serta memiliki wajah ayu. Kesempurnaannya sebagai gadis belia membesitkan kagum pada setiap mata yang memandangnya. Tinggal bersama kedua orang tuanya, yang sangat mendukung kondisi dirinya sebagai salah satu penggerak dakwah dengan segudang aktifitas di luar rumah. Ibunya seorang wanita dengan tingkat kesabaran tinggi, terutama saat menanti kepulangan suami yang juga punya agenda dakwah padat seperti putri tunggalnya. Ayah Diah, ustadz berpenamilan sederhana, sudah menyusuri pelosok-pelosok daerah untuk mensyiarkan islam secara benar. Meski hidup dalam rumah sederhana, keluarga kecil itu punya banyak cara untuk menunjukkan syukur atas segala karunia yang telah Allah berikan. Salah satunya, menjadikan keluarga mereka teladan bagi masyarakat sekitar dalam menjalankan aturan-aturan hidup yang ditetapkan Allah kepada setiap muslim.

Jakarta, September 2010
Wajah hitam manisnya semakin sering menghias halaman majalah remaja dan layar televisi melalui infotainment gossip dalam jajaran hot news-nya. Abdan, penyanyi muda yang punya lesung pada kedua pipinya dan mengenakan kacamata dari usia SMP. Sejak kehadirannya di jagat hiburan Indonesia, namanya kian melambung dan mengantarkannya menjadi salah satu penyanyi idola remaja Indonesia. Berbagai konser dan undangan lawatan ke negara-negara jiran terus mengalir. Jumpa fans dengan ratusan bahkan ribuan penggemar yang didominasi remaja putri, yang tak segan mencium atau mencubit pipi Abdan. Euphoria kehidupan sebagai selebritis semakin kentara dan sepertinya masa-masa kejayaan telah berada dalam pelukannya.

Samarinda, September 2010
Amelia sibuk membenahi kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Sejak bekerja di sebuah event organizer dan menjadi coordinator Fans Club Abdan di Kalimantan Timur, telah banyak surat dari para fans di area kerjanya yang meminta agar acara temu kangen dengan penyanyi muda itu segera digelar. Karena dua kegiatannya itu saling terkait, Amel jadi lebih mudah untuk memperlancar terwujudnya keinginan para fans Abdan.
“Tin, kamu segera hubungi manajernya, kapan fix-nya kita dapat kabar kesediaan dia tampil di sini untuk akhir tahun” Amel berteriak ke arah Tini, co-officer-nya yang dari tadi bolak-balik kamar mandi karena salah makan.
“Udah kuhubungi dari kemarin tapi mail box terus, mbak” Tini yang beberapa menit lalu baru saja keluar dari kamar mandi memegang perutnya yang kembali terasa mules. Tak lama, dia buru-buru masuk ke ruang khusus untuk menghayal, kamar mandi.
Amel yang sejak tadi merasa terganggu pada Tini yang nggak bosan masuk keluar kamar mandi, mendadak sebal.
“Di email kek, Tin” Amel mengeraskan suaranya. Berharap Tini yang sibuk dengan aktifitas buang hajatnya mendengar apa yang dikatakannya.
“Ya, mbaaakkk” dari dalam ruang kecil itu, suara Tini menyahut.
Amel menatap pintu kamar mandi dengan kening berkerut “sempat-sempatnya ngejawab”, lalu mata Amel kembali pada layar lap topnya untuk menuntaskan tugas panen pada aplikasi Farmville di jejaring sosial-nya.

Jakarta, Oktober 2010
Abdan sibuk mengepak kostum menyanyinya pada koper besar. Segera, setelah ini, dia akan terbang ke Makasar untuk konser di salah satu arena permainan indoor terbesar. Di sebelahnya, sang manajer sibuk menelepon penyelenggara untuk memastikan bahwa penyambutan artis-nya telah dipersiapkan. Jangan sampai kejadian di tempat sebelumnya terulang, saat panitia acara lupa menjemput Abdan di airport dan membuatnya luntang-lantung di bandara. Parahnya, nggak satu pun orang di airport yang menyadari bahwa wajah kuyu dan terlihat lelah itu adalah artis ibukota yang sedang naik daun.
“Pom, lu jangan lupa bawa handycam gue yang kemarin baru beli di Singapore. Gue perlu dokumentasi komplit ya” Abdan menyikut lengan Pompom, manajernya.
“Siap, bos. Lu tenang aja, gue udah atur semuanya. Beres dah”
Seorang lelaki kekar masuk ke kamar Abdan, dengan cekatan dia mengangkat barang bawaan bos-nya dan memasukkannya ke bagasi mobil. Tak berapa lama, mobil taft hitam metalik itu meninggalkan rumah besar dan keluar dari pekarangan luas. Meluncur menuju bandara internasional Soekarno-Hatta.

Balikpapan, Oktober 2010
Diah memacu kencang kendaraan roda duanya, membelah jalan raya Sudirman. Di sebuah masjid raya, akan ada parade wisata buku serta pembukaan taman bacaan dan dongeng untuk anak-anak jalanan. Proyek yang dia ajukan sejak dua tahun lalu itu, baru ketok palu di DPRD dua bulan lalu.
Saat roda motornya menginjak area parkir, mata Diah tertumpu pada tenda putih besar dengan berbagai ornamen tanaman dan air terjun. Dekorasi itu hasil kerja keras teman-temannya dari teater “Singgasana Kejayaan”, yang dari dua hari lalu rela begadang hingga nyaris tidak tidur. Mata Diah memanas, sebersit perasaan haru menyelinap dalam hatinya. Sebuah perjuangan panjangnya bersama “kelompok peduli sesama” hampir tergapai, tinggal menunggu realisasi dan kerja yang tanpa batas.
Acara ini dibuka oleh walikota Balikpapan dan mendapat respon yang sangat baik dari warga. Tak sia-sia tim publikasi mendesign spanduk, reklame dan iklan penyelenggaraan acara melalui radio dan media cetak lokal dengan ide-ide yang atraktif dan padanan tampilan yang kreatif.
Di akhir kalimat sambutannya, bapak walikota memberi apresiasi yang sangat besar pada penyelenggara acara dan berjanji akan memberi dukungan dan bantuan yang diperlukan, agar proyek yang akan mengubah peradaban dari skala kota Balikpapan itu dapat berjalan lancar. Mata Diah berbinar selama berlangsungnya prosesi formal tersebut. Setelah itu, seluruh pengunjung dipersilakan menikmati setting menarik dengan tema taman bunga itu. Mulai dari arah kanan pintu masuk, sebuah taman sakura yang di bawahnya mengalir sungai kecil, bunga-bunga sakura yang bergoyang-goyang lembut serta semburan halus salju tipis yang dibuat dari gabus putih yang dihancurkan. Ada juga air terjun yang di desain dari kain-kain putih yang menjuntai dari atap tenda hingga bawah, di balik kain itu ada kipas angin yang membuat kain melambai dan di pasangkan backsound suara gemericik air yang jatuh. Di setiap setting tempat, ditempatkan rak-rak buku yang terbuat dari bamboo kuning, di atasnya dipajang berbagai buku yang bisa dibaca di tempat yang diinginkan pengunjung. Tersedia pula kursi-kursi kecil serta pemadani besar yang dihamparkan untuk pengunjung membaca buku pilihan mereka.
Diah menghela napas lega. Semua berjalan sesuai yang dibayangkan. Alhamdulillah.

Makasar, Oktober 2010
Pesawat Airbus A330-300 milik maskapai penerbangan terkenal mendarat dengan mulus di bandara Hasanuddin, Makasar. Abdan merapikan jaket dan menyelempangkan tas kecil miliknya. Sementara Pompom mengaktifkan ponselnya begitu pesawat berhenti sempurna dan langsung menghubungi panitia penjemputan Abdan.
“Gimana, Pom?” Abdan melirik Pompom yang sibuk pencat-pencet hp dengan gusar.
“Gila ni orang-orang. Pada ngumpet di mana sih? kok kata jeng Vero gak ada jaringan gitu” Pompom menggerutu sambil mencoba menerobos antrian penumpang maskapai yang pelan-pelan berjalan menuju tangga turun pesawat.
Sebagian penumpang ada yang terdesak sampai terduduk di kursi, tapi ada pula yang tiba-tiba menyahut sewot.
“Sabar dong, mas. Lu kira ni jalanan pesawat nenek moyang lu”
Alih-alih Pompom mengkeret, dia justru tambah sok berkuasa.
“Maap ye, permisi lu pada. Gua sama artis gue mau lewat”
Abdan hanya pasang tampang penuh senyum, berharap dengan wajah tenar-nya orang-orang akan mengalah dan membiarkannya keluar duluan. Memang benar, diprakarsai seorang ibu yang nge-fans berat padanya dan berharap Abdan bisa diper-mantu-nya, si ibu sigap membuka jalan untuk Abdan dan Pompom.
“Iya, bapak-bapak ibu-ibu, biar mas ganteng ini keluar duluan. Mungkin dia lagi buru-buru karena mau konser” si ibu mengerling pada Abdan dengan tatapan dan gaya tubuh yang agak ganjen.
Abdan meringis saat mendapat cubitan di pipi tembamnya. Tak ingin buang waktu, Abdan langsung ngacir dan turun dari pesawat sesegera mungkin.

Samarinda, Akhir Oktober 2010
Sebuah email masuk pada inbox Amel. Seketika dia melonjak girang dari kursinya. Di ambilnya post note di sebelah laptop dan menuliskan sebuah nama dan nomor telepon. Akhirnya, kabar yang sudah lama dinantinya datang juga. Penyanyi terkenal itu bersedia mengisi acara “mid night rendezvous” yang dirancangnya dengan tim fans club Abdan dan dibantu oleh event organizer-nya.
“Tiniiiii” suara ceria Amel memecah keheningan ruang kantornya.
Tini yang asik cekakak cekikik di depan kantor sama tukang siomay keliling, mendadak terdiam. Segera diambilnya langkah secepat kilat demi memenuhi panggilan si empunya suara.
“Ya, mbak” Tini muncul dengan napas tersengal.
“Mereka approve, say. Kamu segera book tempat di hotel Mesra dan aku akan konfirmasi ke semua sponsorship” wajah Amel girang.
Berita itu disambut senyum Tini yang sangat merekah. Diam-diam hatinya bersorak lebih heboh dari ekspresi Amel. “Akhirnya, aku bisa ketemu sama idolaku”.
“Tini, ngapain kamu masih di situ? Buruaaan!!! kita lagi rebutan tag sama EO lain” Amel membuyarkan sketsa bahagia yang tergambar dalam benak Tini.
“Eh iya, mbak. Laksanakan segera” lalu kakinya lincah menuruni tangga menuju ruangannya.

Balikpapan, Desember 2010
Suasana airport ramai. Diah ada di antara para penjemput di depan pintu terminal kedatangan. Kepalanya celingak celinguk mencari sosok ustadzah Maimun, yang datang dari Jakarta. Rencananya ustadzah tersebut akan mengisi renungan akhir tahun di majelis taklim ibu-ibu dan remaja putri di masjid raya. Kebetulan Diah didaulat untuk menjemput ustadzah Maimun.
Tak jauh di belakang Diah, segerombol orang dengan kostum hitam dan bertuliskan “Fans Club Abdan Kaltim” tampak membawa spanduk kecil berisi tulisan-tulisan yang eye catching. Ada juga spanduk panjang dengan kalimat “WELCOME TO BALIKPAPAN-PINTU GERBANG KALIMANTAN TIMUR. ABDAN WE LOVE YOU. FANS CLUB ABDAN”
Sebagian dari mereka adalah remaja putri yang dengan tampang deg-degan menanti dengan sabar sosok idola keluar dari pintu kedatangan. Diah memilih menjauh dari gerombolan itu dan menunggu di dekat tiang bangunan airport yang berdiri tegak dengan ornamen ukiran kaltim. Matanya tak lepas dari pintu keluar penumpang, dan saat wanita bergamis dengan jilbab menutup dada tampak berjalan keluar pintu kedatangan sambil menyeret kopernya, Diah segera menghampirinya. Wajah itu sudah tak asing baginya. Setiap pagi di layar televisi, ibu dan dia selalu menyaksikan tausyiah dari ustadzah beranak lima dan istri dari seorang ustadz yang juga pentolan partai islam. Ketika jarak antara Diah dan sang ustadzah tak lagi jauh, Diah segera melebarkan senyumnya dan menyapa wanita itu.
“Assalamu’alaikum, ustadzah. Saya Diah, dari majelis taklim Humaira” Diah menjabat erat tangan hangat ustadzah.
Wanita di hadapan Diah, kini sumringah. Balutan baju takwanya semakin menampakkan kesan anggun dan kharismatik. Belum lagi Diah mengajak ustadzah Maimun keluar terminal kedatangan, sosok idola itu muncul. Sontak saja kumpulan remaja yang semula berbaris rapi di dekat pembatas area tunggu kedatangan domestik berhamburan mendekat untuk menyambut penyanyi asal ibukota itu. Membuat Diah dan uztadzah Maimun tergeser dengan kasar dari kerumunan yang lain. Diah segera menggandeng tangan ustadzah dan membawa beliau menepi. Wajah Diah berubah merah, rasanya ingin dengan segera dia memarahi para penggemar yang tak lagi mampu terkontrol dengan baik, meskipun barisan bodyguard sudah membuat human border untuk sang penyanyi.
“Itulah ukhti, problematika remaja sekarang. Tugas kita bersama untuk merubah gaya hidup hedonis yang terlalu gampang menyandangkan status idola pada manusia, sampai lupa bahwa bahwa tindakan mereka sudah masuk kategori syirik” tiba-tiba saja ustadzah Maimun membuka suara.
***
Abdan melangkahkan kaki menuju ruang kedatangan. Menunggu Pompom yang sibuk mengangkat barang-barang bawaan mereka dari bagasi. Beberapa bodyguard dan tim penjemput yang disiapkan panitia sigap membantu Pompom. Saat semua selesai, mereka bersiap keluar dengan kawalan human border dari beberapa lelaki bertubuh kekar.
Dari dalam ruang kedatangan, Abdan sudah dapat menyaksikan sekumpulan remaja yang membawa spanduk sambil mengelu-elukan namanya dengan histeris. Pemandangan yang sudah biasa ditemuinya sejak, albumnya meledak di pasar nasional dan internasional, serta gelar penyanyi muda berbakat yang belakangan diraihnya. Begitu dia dan rombongan keluar pintu, para remaja itu berebut ingin menyalami Abdan, seolah tak menghiraukan penjemput lain yang juga sejak tadi menanti sanak saudara mereka.
Dari balik badan-badan kekar pengawalnya, Abdan melambaikan tangannya pada para gadis yang tak berhenti berteriak memanggil namanya, sambil membetulkan letak kacamatanya. Saat histeria itu terus berlangsung, Abdan mendapati pandangan kurang suka dari gadis berjilbab yang tengah menggandeng seorang ibu. Kendati begitu, dalam mata gadis itu Abdan temukan tatapan yang sangat ironi dengan teriakan sanjung puji dari orang-orang yang mengepungnya.
Tatapan gadis itu dan Abdan berhadapan. Seketika dalam hati Abdan muncul desiran halus. Namun gadis ayu itu segera berlalu menggandeng wanita setengah baya yang tadi berdiri di sampingnya. Sepertinya Abdan sangat mengenal wajah wanita yang mengenakan paduan gamis polos dan jilbab dengan motif bunga-bunga kecil itu. Ingatannya berputar dengan gesit, hingga tibalah dia pada sebuah acara talkshow “remaja muslim dengan prestasi segudang” yang pernah dihadirinya. Ibu itu, salah satu nara sumber yang duduk persis di samping dirinya saat itu. Ya, tidak salah lagi, itu pasti ustadzah Maimun. Pribadi kharismatik dan sangat ke-ibu-an yang membuat Abdan dapat melihat dengan jelas bayangan tentang “ibu” yang selama ini hanya ada dalam dinding khayalnya.
“Pom, lu kejar cewek sama ibu yang pake jilbab itu. Cepetan!!!” Abdan menepuk pundak Pompom berulang kali dengan cepat dan keras.
“Kenapa sih, Dan?” Pompom masih tak paham dengan instruksi yang baru saja diterimanya.
“Jangan banyak tanya lu, ayo kita kejar” Abdan menarik tangan Pompom dan mengajaknya berlari.
Jelas saja perbuatan Abdan membuat para bodyguard dan fans Abdan kaget bercampur heran. Tak ingin dikira melalaikan tugas, para lelaki yang semula membantuk garis batas itu berlari mengikuti Abdan, dan terjadilah aksi kejar-kejaran di koridor bandara yang penuh dengan manusia. Gambaran persisnya, seperti adegan dalam sinetron.
***
Diah pasang ancang-ancang setengah berlari, saat sebuah suara nyaring menguak kerumunan orang.
“Bu, tunggu!!!” Abdan yang tadi berada di tengah kepungan pengawal itu sekarang berada tak jauh darinya.
Sebenarnya Diah tak ingin merasa ke-geer-an, bahwa dia yang dimaksud. Tapi tangan ustadzah Maimun menahan dirinya untuk beranjak menjauh.
“Assalamu’alaikum, bu” padangan Abdan tertuju pada ustadzah Maimun. Tatapannya penuh takjub, karena bisa bertemu dengan wanita yang meninggalkan bekas sangat dalam sejak pertemuan pertama kali mereka.
“Wa’alakumsalam” ustadzah Maimun tersenyum ramah. Sementara Diah hanya memandang Abdan dan wanita di sebelahnya itu bergantian, membuat garis tanya dalam hatinya semakin panjang.
“Masih ingat saya, bu? Saya pernah satu sesi dengan ibu dalam acara talkshow remaja di Kebayoran Lama”
“Jelas saya tidak bisa lupakan itu. Bahkan selalu ada dalam ingatan saya. Kamu kan sangat istimewa, nak” Ustadzah Maimun tak melepaskan lengkung di wajahnya. Membuat Abdan yakin bahwa ucapan ustadzah sangat tulus, hingga membuat dirinya merasa sangat berharga. Inilah kali pertama dia mendapat hakikat dari keberadaannya sebagai seorang manusia.
Pertemuan siang itu cukup singkat. Setelah Abdan mendapatkan nomor ponsel ustadzah Maimun, mereka segera berpisah. Sebab setelahnya, Abdan langsung di bawa menuju Samarinda untuk mengisi acara jumpa fans sekaligus perayaan tahun baru di salah satu hotel di sana. Sedangkan ustadzah Maimun menjadi pemateri dalam renungan akhir tahun yang dihadiri oleh ibu-ibu majelis taklim dan remaja putri di Balikpapan.

Samarinda, malam penguhung tahun 2010
Acara malam itu berlangsung meriah. Di panggung yang dipenuhi hiasan akhir tahun itu berdiri seorang penyanyi terkenal yang jadi idolanya. Tini memandang takjub ke arah Abdan, matanya enggan untuk berkedip. Tak ingin melewatkan setiap detik penampilan Abdan.
Saat Abdan turun panggung, Tini segera menghampirinya dan memberikan air mineral beserta handuk kecil. Padahal hal itu biasanya dilakukan Pompom. Abdan heran, memandang berkeliling mencari sosok gempal manajernya di tengah kerumunan panitia, tapi tak ditemukannya.
“Cari Pompom ya, mas? Dianya lagi ke kamar, mau ngambil apaaaa gitu” Tini dapat menebak siapa yang dicari Abdan.
Abdan membulatkan mulutnya dan mengambil handuk dari tangan Tini.
“Mas Abdan kok kalau konser nggak pernah bawa pacarnya?” Tini bertanya menyelidik. Dalam hatinya berharap jawaban Abdan sesuai inginnya.
“Saya nggak punya pacar, mbak” Abdan tertawa sambil menjawab pertanyaan yang diajukan Tini, membuat hati Tini berbunga.
“Tapi, do’ain aja supaya saya dapet istri yang baik”
“Istri?” kalimat Abdan itu membuat kening Tini berkerut.
“Iya, istri. Dan kayaknya saya sudah dapat yang cocok di hati” kali ini Tini bungkam menutupi hatinya yang mendadak basah.

Balikpapan, Nopember 2011
Arena parkir Balikpapan Sport and Convention Centre penuh. Di dalam gedung dengan atap seperti kubah masjid yang dilapisi warna keemasan itu tengah berlangsung pameran Art and Creativity Product. Dalam acara itu dipajang dan ditampilkan berbagai macam hasil karya dari anak jalanan, pemulung serta remaja-remaja yang selama ini sangat terpinggirkan dan kurang mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Diah ada di antara mereka. Kali ini, dia adalah project director untuk acara yang digelar oleh Kelompok Peduli Sesama selama sebulan penuh itu. Saat Diah sibuk berjalan berkeliling ke setiap stand dan menyapa beberapa peserta pameran, ponsel yang menggantung di lehernya berbunyi. Meskipun suara hp-nya nyaris kalah dengan gema sound system yang mengiringi acara, Diah dapat merasakan ponsel itu bergetar.
“Assalamu’alaikum” Diah menjawab panggilan di telepon genggamnya sambil berjalan keluar gedung untuk menghindari suara bising yang memenuhi gedung.
“Wa’alaikumsalam. Diah, saya bu Maimun dari Jakarta. Apa kabar, ukhti? suara di seberang sana menyahut dengan lembut.
Diah mengerutkan keningnya sejenak, lalu tersenyum.
“Iya ustadzah, Alhamdulillah ana bi khoir”
“Diah sedang sibuk? Saya mau bicara sebentar. Ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”
“Insya Allah saya tidak terlalu sibuk, ustadzah. Silakan saja disampaikan”
“Ukhti, apakah anti siap menikah? Karena seorang ikhwan meminta saya menanyakan ini pada anti dan sebenarnya dia juga sudah menunjuk anti. Meskipun belum lama tarbiyah, tapi saya sudah menyaksikan bagaimana progress beliau. Insya Allah hanif dan soleh. Suami dan saya malah berpendapat bahwa kehadiran anti sebagai istri dapat menguatkan beliau”
Diah masih diam, mendengarkan dengan seksama setiap pemaparan yang disampaikan ustadzah Maimun. Meskipun tak dapat dipungkiri, berita ini sangat mengusiknya. Membuat hatinya gusar dan bingung untuk bertindak dan berkata.
“Anti boleh pikirkan dulu dengan tenang dan segeralah beristikharah” seperti tahu bagaimana keadaan hati lawan bicaranya, ustadzah Maimun segera menutup pembicaraan dan memberi waktu pada Diah untuk menemukan jawaban.

Januari 2012
Serbuan wartawan dan juru berita mengepung Diah yang baru saja keluar dari masjid raya.
“Mbak bener ya, kalo sejak setahun lalu mbak sudah punya hubungan khusus dengan mas Abdan? Dimana dan gimana proses ketemunya?”
Diah gerah. Namun senyumnya tetap terkembang. Dengan sabar diladeninya setiap pertanyaan yang meluncur tajam dan terkesan menyudutkannya dan Abdan.
“Saya tak akan menutupi sedikitpun dari apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja saya juga ingin agar statemen saya ini disampaikan dengan sebenar-benarnya oleh teman-teman wartawan” Diah menarik napas dalam sebelum memulai penjelasannya. Bismillah…
“Akhir tahun 2010 saya pertama kali ketemu mas Abdan di airport Sepinggan. Kondisinya, mas Abdan baru tiba dari Jakarta untuk mengisi perayaan tahun baru di Samarinda, sementara saya menjemput ustadzah yang datang dari Jakarta juga. Setelah itu saya tak pernah bertemu mas Abdan hingga akhirnya kami menikah di akhir tahun 2011. Dari perkenalan hingga proses menikah, kami dimediasi oleh ustadz Ma’arif dan istrinya, ustadzah Maimun”
“Jadi, nggak pake pacaran mbak?” seorang wartawan infotainment tersohor mencoba memancing Diah. Tapi pertanyaan itu dijawab gelengan tegas dan senyum oleh Diah.
“Beberapa bulan belakangan sampai berita pernikahan mbak dan mas Abdan tercium media, kan mas Abdan seperti menghilang. Bahkan ada yang bilang bahwa semua itu terkait dengan tuntutan mbak yang ingin mas Abdan meninggalkan dunia nyanyinya. Itu gimana mbak?” seseorang yang lain tak mau berhenti mencari celah yang dapat memunculkan berita heboh dan menaikkan ratting acaranya.
“Untuk itu biar mas Abdan yang jawab” Diah memandang lelaki yang setia berdiri di sampingnya sejak tadi.
“Kalau saya dikatakan menghilang, sebenarnya kurang tepat. Saya masih sering nyanyi dan mengisi beberapa acara, hanya saja sekarang tema-nya bukan lagi tentang cinta yang biasa saya bawakan dulu. sekarang lebih menuju hakikat cinta sesungguhnya. Saya putar haluan ke nasyid, mas. Yah, seperti lagu religi gitu lah, tapi liriknya lebih dalam. Dan kalau ada yang bilang, gara-gara Diah saya meninggalkan profesi dan kehidupan penyanyi saya, itu semua tidak benar. Karena sesungguhnya, dalam setiap kejadian yang saya dan kita alami, selalu ada skenario Allah, dan saya menganggap ini sebagai hidayah” Abdan mengakhiri penjelasannya dengan senyum yang membuat lesung di kedua pipinya terlihat jelas.
“Saya ingin menambahkan. Perubahan yang dialami oleh mas Abdan, saya rasa tidak perlu dispekulasi terlalu panjang. Intinya, kami ingin menjalankan kewajiban yang kami yakini sebagai seorang muslim, sesuai panduan Al Quran dan Sunnah. Kehidupan mas Abdan dan saya, hanya ditujukan untuk mendakwahkan kebenaran dan kebaikan kepada semua orang. Kalau akhirnya ada wacana yang mengatakan bahwa perubahan mas Abdan karena saya, itu berarti kita tengah beradu dengan keyakinan tentang adanya Allah yang Maha menentukan, serta menghujat Allah yang telah menurunkan pentunjuk bagi kita melalui Al Quran, karena sekali lagi, kami telah meyakini sepenuh hati, bahwa jalan kami sesuai dengan apa yang Allah ingin” Diah menggandeng tangan Abdan sebagai tanda bahwa dia ingin segera mengakhiri proses tanya jawab yang mungkin akan berlangsung panjang jika tak segera dihentikan.
Bagi Diah, cukuplah orang-orang yang memang terkait dengan pernikahannya dan Allah saja yang mengetahuinya. Jikapun sekarang dia bersedia dimintai informasi oleh para pemburu berita itu, Diah hanya ingin menjelaskan hal-hal yang memang perlu dan menghapus fitnah yang belakangan merebak dan menembus media cetak dan elektronik di seantero Indonesia.
Diah dan Abdan berjalan menuju kendaraan yang sudah menanti mereka di parkiran masjid. Meskipun para pencari berita itu tak gentar dan terus mencecar mereka dengan berbagai pertanyaan, Diah dan Abdan tetap berlalu dengan sopan.
“Jadi gitu ya mas rasanya dikejar-kejar wartawan?” Diah memandang suaminya dengan senyum menggoda, begitu mereka duduk di jok belakang mobil. Sementara Abdan hanya tertawa tanpa manjawab pertanyaan istrinya.
“Yakin nih, mas. Nggak ada rasa menyesal ninggalin dunia selebritis?”
“Ada hal yang pasti dan patut mas syukuri. Pertama, hidayah Allah yang sudah mas dapat. Dan yang kedua…” Abdan menggantung kalimatnya, membuat Diah memandang ke dalam mata Abdan.
“Kamu. Karena tanpa bimbingan Allah, sudah pasti I’m almost over you, honey” untuk kalimat terakhirnya, Abdan berbisik tepat di telinga istrinya, membuat Pompom yang duduk di belakang kemudi berdehem.
“Maap pak bu, ntu adegan kudu di sensor. Soalnya ada anak di bawah tujuh belas tahun nih” Pompom mengintip Diah dan Abdan melalui kaca spion di atasnya. Serentak tawa ketiganya pecah, lalu mobil taft berwarna hitam metalik itu membawa mereka melintasi jalanan kota Balikpapan yang basah.

(By Era Gobel)

No Response to "I'm Almost Over You"

Posting Komentar